Rabu, 04 Februari 2009

Quo Vadis Cagar Budaya Surabaya

Berbicara mengenai kota Surabaya, pasti tidak akan ada habis-habisnya. Problematika perkotaan sangatlah menarik bila dikaji dengan segala aspek yang melingkupinya. Kota merupakan penggerak penting dalam terjadinya perubahan. Artinya, kota dalam era kekinian bisa dikatakan sebagai suatu kajian tersendiri yang tidak lagi bersifat umum. Hal ini dikarenakan kota telah mengambil peranan serta peralihan dalam masyarakat pedesaan.
Seiring pertumbuhan kota Surabaya yang pesat, secara perlahan tapi pasti, muncul persoalan yang mau tidak mau haruslah dicarikan solusinya guna kepentingan bersama. Persoalan tersebut menyangkut masalah tata perencanaan kota yang carut marut, polusi, serta hilangnya bangunan-bangunan yang mempunyai nilai tinggi sebagai warisan serta menjadi benda Cagar Budaya (artefak). Keadaan ini parodoks, ketika kita mendengar cerita dan membaca buku bahwa pada jaman kolonial (baca: Hindia Belanda) kota Surabaya lebih cantik dan bagus akan kotanya.
Menarik sekali ketika tim Cagar Budaya mulai mengkaji 52 kawasan serta bangunan Cagar Budaya yang ada di Surabaya selama tahun 2006. Sebagai contoh, daerah Surabaya Utara (khususnya sekitar Jl. Rajawali) masih banyak terdapat bangunan Cagar Budaya yang belum masuk ke dalam daftar bangunan sebagai Cagar Budaya ataupun potensi menjadi Cagar Budaya. Selanjutnya, bangunan serta kawasan tersebut akan diteliti dengan kriteria usia minimal bangunan, nilai estetiknya berdasar rancangan arsitektur, nilai historis, keaslian struktur dan material yang nantinya dijadikan konsep pemeliharaan konservasi kawasan. Akhir dari pengkajian bangunan Cagar Budaya yang memenuhi kriteria tersebut adalah untuk ditambahkan ke dalam daftar Cagar Budaya dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian dan/atau lingkungan Cagar Budaya. Hal inipun, kemungkinan besar masih akan disesuaikan dengan kebijakan umum dan skala prioritas dalam Rencana Program Jangka Menengah Daerah Kota Surabaya (Kompas, Kamis 19 Januari 2006).
Perihal pelestarian bangunan bersejarah dan Cagar Budaya, marilah kita menengok kebelakang sejenak mengenai kota Surabaya sebagai renungan kita semua. Kota Surabaya yang terkenal dengan kota pahlawan, mempunyai nilai historis yang tinggi dan mahal. Dari catatan yang ada, mulai tahun 1928 hingga tahun 1968 penampilan kota Surabaya bagian tengah yang indah, hampir tidak berubah meskipun jumlah penduduknya berlipat lima kali dalam perkembangannya.
Menginjak tahun 1969, ada program pemerintah Indonesia yakni Pekan Olahraga Nasional ke-VII yang membawa dampak perubahan wajah kota Surabaya. Penyelenggaraan PON ke VII di Surabaya mengakibatkan banyaknya jalan yang diperlebar dan dibangunnya tempat penyeberangan. Dalam segi pembangunan, sebenarnya cukup bermanfaat bagi kota Surabaya. Akan tetapi seiring dengan pembangunan, dampak negatif juga muncul yakni hilangnya kereta Tram Listrik peninggalan dari pemerintahan Belanda, serta banyakna juga bangunan bersejarah dan Cagar Budaya yang menghilang.
Kemudian, Surabaya mempunyai Stasiun Semut yang merupakan jalur penghubung antara Surabaya dengan Pasuruan tahun 1878. Dalam buku Oud Soerabaia (GH von Faber), Pada tahun tersebut, jalur Surabaya Pasuruan merupakan satu-satunya jalan untuk pengiriman pipa air minum lewat pangkalan kereta api. Sedangkan pipa air minum tersebut dipasang dari Surabaya-Pasuruan-Umbulan karena air dari umbulan adalah sumber air yang sangat besar, jernih yang bisa mencukupi kebutuhan air bagi Surabaya pada masa itu. Akan tetapi, sekarang Stasiun Semut menjadi pertokoan dan mall yang dapat menyumbang pajak melimpah pada pemerintah.
Contoh lainnya adalah RS Griya Husada. Orang-orang “sepuh” (baca: tua) Surabaya mengenal RS Griya Husada sebagai rumah sakit buat wong cilik. Bahkan untuk orang yang tidak mampu akan dibebaskan biaya; tidak seperti rumah sakit sekarang yang mahal dan semakin mahal. Akan tetapi, yang terjadi adalah RS Griya Husada yang merupakan bangunan Cagar Budaya telah dieksekusi (28/8/2001). Selanjutnya pasar Wonokrono juga tergantikan dengan bangunan mall. Dan masih banyak lagi pembongkaran dan eksekusi bangunan Cagar Budaya tanpa, bahkan sepengetahuan pemerintah maupun masyarakat.
Meskipun sudah ada UU no 5 tahun 1992 dan 1998 tentang masalah Cagar Budaya, SK Walikota Surabaya tahun 1996 dan 1998 yang berisi tentang 163 bangunan Cagar Budaya yang harus dilindungi, tetap saja Pemerintahan Kota Surabaya tidak berkewenangan mengenai masalah bangunan Cagar Budaya dikarenakan tidak ada Perda khusus tentang bangunan Cagar Budaya (Jawa Pos, 24 November 2003).
Dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian dan/atau lingkungan Cagar Budaya, masihkah Pemerintah Kota Surabaya mempunyai taring untuk melindungi keberadaan banguan Cagar Budaya? mengingat tiga hal. Pertama, kesadaran serta kecintaan masyarakat Surabaya yang rendah akan pentingnya bangunan Cagara Budaya bagi peran kota sebagai aset pariwisata dengan pendekatan kawasan bernilai historis. Sehingga, jarang sekali peran aktif masyarakat yang signifikan dalam pelestarian bangunan Cagar Budaya.
Kedua, peran Pemerintah Kota Surabaya yang elitis bahwa hanya mereka sajalah yang berhak mengurusi masalah Cagar Budaya. Dan biarlah masyarakat menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti biasa, agar tidak ngeriwuki dengan asumsi dapat mempermudah tugas dari Pemerintah Kota Surabaya. Ketiga, gencarnya para pemilik modal yang agresif untuk menancapkan usahanya melalui pembangunan mall-mall di kota Surabaya. Dengan kekuatan modalnya, bukan rahasia lagi jika terjadi klik antara pemilik modal dengan pemerintah.
Melihat keadaan seperti ini, keoptimisan pelestarian Cagar Budaya akan menjadi keraguan serta utopis. Dan bahkan seperti apa bangunan Cagar Budaya yang bernilai historis tinggi di Surabaya untuk kedepan, waktu jualah yang akan menjawab. Semoga Surabaya tetap menjadi Kota bernilai historis dan menjadi aset berharga bagi bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar