Rabu, 04 Februari 2009

Jejak Tionghoa dalam Sepak Bola di Surabaya

Sepak bola merupakan olahraga paling digemari di seluruh dunia. Sepak bola ditinjau dari kesejarahan memang tidak bisa kita lepaskan dari peranan bangsa Eropa. Sejak dikenalnya sepak bola yang lebih modern di abad ke-15, olahraga paling populer ini berkembang hingga ke penjuru negeri di jagad ini.
Kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa Eropa di Benua Amerika, Afrika dan Asia, turut serta mempopulerkan dan menjadikan sepak bola sebagai permainan global. Ketika Belanda melakukan kolonialisasi di Indonesia, transformasi sepak bola terjadi di Indonesia terutama Surabaya.
Catatan-catatan sejarah yang ada menunjukkan bahwa awal dibentuknya bond-bond (perkumpulan) sepak bola diawali di Surabaya oleh pemuda Belanda, John Edgar. Bond sepak bola yang ada di surabaya pada tahun 1890-an antara lain Victoria (1895), Sparta (1896), SIOD (Scoren Is Ons Doel), Rapiditas, THOR.
Tumbuhnya bond-bond sepak bola yang diawali oleh pemuda Belanda di Surabaya merangsang tumbuhnya persepakbolaan dikalangan Tionghoa dan Bumiputera. Tumbuhnya gairah sepak bola di kalangan Tionghoa juga tidak terlepas dari pembedaan golongan masyarakat kedalam tiga kelas di Hindia Belanda tahun 1855 yakni Belanda (Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) dan Inlander (Bumiputera).
Ketika terjadi penggolongan tersebut, orang-orang Tionghoa yang tergolong dalam Vreemde Oosterlingen “dipaksa” lebih menyatukan identitas mereka. Persatuan tersebut juga masuk dalam ranah sepak bola. Pertama-tama orang Tionghoa melakukan sepak bola dalam kalangan mereka sendiri. Setelah berkembang pesat pada awal abad ke-20, tumbuh bond-bond dikalangan Tionghoa.
Paling tidak bond-bond Tionghoa terbentuk di kota besar diantaranya adalah Tionghoa Surabaya, UMS Batavia, BRC Buitenzorg (Bogor), YMC Bandung, Union dan TNH Semarang. Bond-bond tersebut secara berturut-turut melakukan Steden-Wedstrijden (pertandingan antar kota).
Kekuatan sepak bola Tionghoa Surabaya menjadikan Surabaya sebagai salah satu kiblat sepak bola di awal abad ke-20. Kejuaraan CKTH (Comite Kampioenswedstrijden Tiong Hoa) dan Hwa Nan Voetbal Bond sering kali di menangkan oleh Tionghoa Surabaya diantaranya tahun 1916, 1917, 1922, 1924, 1926, 1928, 1930, 1932 (Berretty 1932: 223-225).
Para pemain Tionghoa Surabaya yang menjadi pilar saat itu adalah Tan Chin Hoat. Kauw Sing, Hian Gwan, Sie Liong. Bahkan Chin Hoat menjadi Back (pemain belakang) andalan tim nasional Hindia Belanda (NIVB) di Olimpiade Timur Jauh di Manila tahun 1934.
Semangat orang Tionghoa dalam sepak bola pada tahun 1932 tidak kalah gempar dengan kondisi perpolitikan di Hindia Belanda (Indonesia). Sepak bola pada waktu itu digunakan untuk membakar semangat orang Tionghoa agar berpegang pada ide Indonesiershap Lim Koen hian tokoh PTI (Partai Tionghoa Indonesia), bahwa orang Tionghoa adalah bagian dari Indonesia.
Akhirnya, pemboikotan dilakukan oleh Liem terhadap sepak bola Belanda yang ada di Surabaya. Hal inilah yang kemudian bisa membakar semangat orang Tionghoa untuk menegaskan tentang pentingnya (ke)indonesia(an). Semangat itu meresap masuk ke ranah sepak bola.
Semangat (ke)indonesia(an) ikut mengantarkan peranan orang Tionghoa dalam perkembangan sepak bola. Muncul nama-nama seperti The San Liong, Beng Ing Hien dan Phoa Sian Liong, baik ketika membela Tionghoa Surabaya maupun Persebaya Surabaya pada tahun 1950-an. Ketiga pemain itu juga menjadi pemain timnas Indonesia ketika menahan Uni Soviet 0-0 di babak perempat final olimpiade 1956 di Melbourne.
Memasuki bergantinya Orde Lama ke Orde Baru, paradoks terjadi pada ranah sepak bola khususnya bagi kalangan Tionghoa di Surabaya. Tidak ada lagi nama-nama tenar mewarnai sepak bola lokal maupun nasional dari orang Tionghoa. Seakan-akan orang Tionghoa menghilang begitu saja dari ranah sepak bola.
Paling tidak, ada beberapa hal yang mnjadi faktor hilangnya orang Tionghoa dalam sepak bola. Pertama, rasialisme yang terjadi di masyarakat. Seringkali pemain sepak bola Tionghoa diteriaki China oleh suporter. Hal itu mengakibatkan keengganan bagi mereka menggeluti sepak bola.
Sebagai contoh, Samuel Eto’o pernah mogok bermain karena dia diteriaki oleh suporter lawan ketika membela Barcelona. Nada teriakan yang bersifat rasial dan sentimen ras karena berasal dari kulit hitam, begitu mencederai hati Eto’o.
Kedua, perbedaan antara pribumi dan non-pribumi kerap masih dirasakan dalam kehidupan. Sehingga, ketika terjadi kerusuhan dalam sepak bola bisa bergeser pada sentimen ras. Kentalnya sentimen ras pasti menggangu kondisi psikis seseorang.
Ketiga, pandangan orang Tionghoa yang pragmatis bahwa sepak bola tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hidup. Mereka lebih suka beraktualisasi pada wilayah perdagangan saja daripada sepak bola. Selain itu, orang Tionghoa lebih suka menekuni pendidikan dan kemudian bekerja di sebuah perusahaan ataupun perkantoran.
Saat ini kampanye terhadap sentimen rasial (let’s kick racism out of Football) dilakukan oleh FIFA. Momen tersebut sebenarnya bisa digunakan untuk menumbuhkan dan menarik gairah orang Tionghoa untuk kembali berjaya melalui sepak bola khususnya di Surabaya.
Sempat muncul nama Suwito yang mempunyai darah Tionghoa di Persebaya tahun 2002. Akan tetapi, prestasinya meredup seiring tidak diberikannya kesempatan untuk bermain oleh Rusdy Bahalwan di Liga Indonesia VIII.
Semangat memerangi rasisme di lapangan hijau yang dilakukan FIFA bisa kita jadikan renungan dan sinergisitas terhadap perjalanan sepak bola. Bisa jadi, ketika kita berhasil memerangi rasisme bisa memunculkan (lagi) pemain Tionghoa yang menjadi kebanggaan persepakbolaan Surabaya bahkan nasional.
Dunia sepak bola juga bisa berkaca pada cabang olahraga bulutangkis. Banyak pemain bulutangkis dari keturunan Tionghoa yang berprestasi hingga level internasional. Apabila orang Tionghoa diberikan kesempatan untuk menggeluti sepak bola, bukan tidak mungkin seluruh potensinya akan diperjuangkan demi harumnya nama sepak bola Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar