Rabu, 04 Februari 2009

Perjalanan Surabaya dan Adu Doro

Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah ibukota Jakarta serta kota tertua di pulau Jawa. Kota Surabaya banyak sekali meninggalkan kenangan yang tak terlupakan dalam perkembangan hiostoris kotanya, baik yang bersifat masa lampau maupun untuk pembangunan kedepan.
Untuk melihat ataupun mengidentifikasi Surabaya, kita bisa menilik pada konsep Aldo Rossi yang mengatakan bahwa Kota adalah Arsitektur. Disini, arsitektur mempunyai sifat kolektif, bukan hanya sekedar gambar dari kota yang hanya dilihat saja. Melainkan, merupaka suatu konstruksi dari kota untuk sepanjang waktu.
Surabaya terkenal dengan lambang kotanya, yakni suro dan boyo. Sebuah legenda yang pernah ada di Surabaya untuk menjelaskan sedikit tentang identitas kotanya. Dan dari sinilah lambang kota itu diambil.
Dari segi historis kotanya, masyarakat Surabaya pasti dan wajib hukumnya mengetahui kegigihan Bung Tomo dalam memimpin pertempuran 10 November 1945. Dalam peristiwa bersejarah tersebut kita bisa melihat kehebatan arek-arek suroboyo yang secara gagah berani melawan penjajah (baca: Inggris) yang hendak merebut kedaulatan negara. Sejarawan Taufik Abdullah mengatakan bahwa peristiwa 10 November ini tingkatnya satu strip di bawah peristiwa kemerdekaan Indonesia
Peristiwa di Surabaya tersebut mempunyai rangkaian yang erat dengan peristiwa sebelumnya yakni penyobekan bendera di hotel Yamato pada tanggal 19 september 1945. kemudian dilanjutkan dengan peristiwa insiden Jembatan Merah Pada tanggal 30 Oktober 1945 yang menewaskan Brigadir Mallaby. Dari peristiwa heroik inilah Surabaya mendapatkan gelar sebagai kota pahlawan.
Dalam era kekinian, semua orang pasti tahu seperti apa kota Surabaya. Ketika musim hujan datang, Surabaya juga heboh dengan banjirnya. Lihat saja daerah Mayjen Sungkono, Indragiri, Kertajaya, Gunung Anyar, Manukan, Medokan Semampir–bahkan banyak daerah pinggiran yang lain–ketika hujan telah redah, Surabaya seperti menjadi lautan untuk beberapa hari kedepan.
Setiap kali ada perhelatan sepak bola liga Indonesia, Surabaya juga akrab dengan pasukan green force Persebaya dan Boneknya. Nama besar Bonek dengan segala aktivitas serta dukungan terhadap kebesaran Persebaya, banyak menghiasi media massa baik media cetak atau Koran dan media elektronik atau televisi. Tidak tanggung-tanggung ada juga ungkapan yang telah melekat pada kita semua bahwa orang Surabaya itu ya Bonek, orang yang tidak hanya mempunyai tekad yang tinggi melainkan juga nekad.
Kemudian, Surabaya juga terkenal dengan prostitusinya yakni Doli. Banyak orang luar Surabaya, ketika berkunjung, selalu menanyakan dimana Doli berada. Sehingga, ada guyonan seperti ini, “kalau nggak ngerti Doli ya bukan orang Surabaya”. Selain itu, Surabaya identik dengan kota semrawut, macet, penuh polusi, yang sampai sekarang belum menemukan solusinya, menambah problematika yang pelik.
Adu Doro
Ada sesuatu yang (mungkin) terlupakan dalam perkembangan kota Surabaya oleh masyarakatnya. Hal yang terlupakan tersebut adalah Adu Doro. “Doro” merupakan bahasa jawa dari merpati, salah satu spesies burung. Dan doro banyak sekali dipelihara di Surabaya. Mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang tua (baik kalangan bawah serta kalangan atas) pada gandrung doro. Sehingga, memelihara doro seakan-akan sudah biasa.
Memelihara doro merupakan tradisi, bahkan lebih dari tradisi, yang ada di Surabaya. Acap kali bisa dilihat, banyak pegupon (rumah doro) menjulang tinggi. Bahkan, ada juga pegupon yang ditaruh di atas atap rumah agar terlihat “megah”. Ada kidungan fenomenal dari Cak Durasim, kurang lebih tahun 1940-an, yakni “Pegupon omahe doro urip melok Nippon tambah sengsoro”. dari kidungan diatas, sedikit banyak dapat menjelaskan bahwa memelihara doro sudah ada sejak jaman kolonial. Kidungan tersebut mempunyai arti bahwa janganlah mengharapkan kemerdekaan dari siapapun, setelah kekuasaan kolonial melemah di Indonesia.
Untuk daerah Surabaya, memelihara doro tidak hanya sekedar memelihara. Sehingga, bisa kita jumpai setiap akhir pekan (sabtu dan minggu), banyak warga Surabaya bertaruh (baca: berjudi) dengan doro sebagai medianya (Adu Doro). Cobalah tengok daerah Manyar Sabrangan, Medokan Ayu, Rungkut, Keputih, Ploso, Bulak, Kenjeran, Manukan, Wonokromo, Simo, Perak dan daerah pinggiran Surabaya yang lainnya.
Bahkan untuk adu doro, setiap petaruh berani memasang taruhan besar. Tidak tanggung-tanggung, untuk sekali taruhan bisa terkumpul uang sampai jutaan. Bisa dikatakan bahwa adu doro tidak hanya sekedar tradisi saja. Dari kegemaran dan juga ajang taruhan inilah, adu doro menjadi sebuah hiburan setiap akhir pekan bagi masyarakat Surabaya.
Kemudian muncul pertanyaan dibenak kita, mengapa adu doro bisa dikatakan sebagi hiburan? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan dua argumen. Pertama, adu doro merupakan ajang untuk melupakan sejenak kepenatan hidup dan persoalan-persoalan pelik dalam kehidupan. Banyak orang telah bosan dengan suasana perpolitikan bangsa, trik dan intrik para elit politik, yang tidak kunjung membawa kepada kehidupan lebih baik. Sehingga, banyak orang mendapatkan kepuasan dengan menyaksikan kehebatan doro ketika menukik tajam menuju ke sangkaranya. Kedua, adu doro merupakan ajang sampingan mencari uang. Jika nasib baik menghampiri, lumayan bisa mendapat uang kejutan apabila doro jagoannya menang dalam aduan.
Setelah pergantian Kapolri dari Da’i Bachtiar ke Sutanto, konsekuensi logis adalah tradisi adu doro ini menjadi sepi. Dengan diberlakukannya kebijakan Kapolri yang baru mengenai pemberantasan perjudian, banyak masyarakat yang ditangakap. Hal ini mengakibatkan banyaknya masyarakat yang enggan untuk adu doro. Padahal, jika kita cermati kebijakan tersebut, sebenarnya perlu adanya penyikapan tersendiri akan adu doro, karena adu doro merupakan warisan budaya yang ada sejak jaman kolonial.
Burchardt (1818-1897) seorang sejarawan yang mendedikasikan banyak waktunya untuk meneliti akan kebudayaan, mengatakan bahwa setiap detail yang kecil dan tunggal sebenarnya merupakan simbol dari keseluruhan dan satuan yang lebih besar. Adu doro yang merupakan tradisi serta hiburan bagi masyarakatnya, secara sadar ataupun tidak sadar telah menjadi custom di Surabaya. Sehingga, adu doro layak untuk kita beri perhatian dan dilestarikan akan keberadaannya
Jadi, tidak hanya hanya romantisme historis, persebaya dengan boneknya, nama besar doli sebagai tempat prostitusi, banjir tiap tahun, kebesaran gelar kota pahlawan sebagai penghargaan atas peristiwa heroik 10 November, bahkan kota yang semrawut, macet dan penuh polusi, yang hanya bisa dijadikan pijakan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan simbol-simbol dari keberadaan serta eksistensi kota Surabaya.
Seperti halnya, Pulau Bawean yang terkenal dengan aduan sapi, Pulau Bali dengan aduan ayam dan Tanah Sunda dengan adu domba. Surabayapun pantas untuk dikenal dengan adu doronya untuk menambah khasanah kearifan lokal yang utuh bagi kota surabaya.

2 komentar:

  1. siap, Hobi Kami memang murahan tetapi kami berani melepaskan merpati seharga jutaan..

    BalasHapus
  2. Ah bohong, dara 100 rb aj masih d tawar

    BalasHapus